By Unknown | At 23.31 | Label :
Tugas Kuliah
| 1 Comments
A.
Definisi
Pendidik dalam Pendidikan Islam
1.
Secara Etimologi
Secara etimologi, dalam konteks pendidikan Islam
pendidik disebut dengan murabbi, mu’allim, dan muaddib. Kata murabbi
berasal dari kata rabba, yurabbi. Kata mu’allim isim fail dari ‘allama,
yu’allimu sebagaimana ditemukan dalam Al-Quran (Q.S. Al-Baqarah:31),
sedangkan kata muaddib berasal dari addaba, yuaddibu, seperti
sabda Rasul: “Allah mendidikku, maka Dia memberikan kepadaku sebaik-baik
pendidikan”. Ketiga istilah itu, mu’allim, murabbi, muaddib, mempunyai
makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimat, walaupun dalam situasi
tertentu mempunyai kesamaan makna.
Kata atau istilah “murabbi” misalnya, sering
dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik
yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti initerlihat dalam
proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan
pelayanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan
kepribadian serta akhlak yang terpuji. Sedangkan untuk istilah “mu’allim”,
pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktifitas yang lebih terfokus pada
pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan (pengajaran), dari seseorang yang
tahu kepada orang yang tidak tahu. Adapun istilah “muaddib”, menurut Al-
Attas, lebih luas dari istilah “mu’allim” dan lebih relevan dengan konsep
pendidikan Islam.
2.
Secara Terminologi
Para pakar menggunakan rumusan yang berbeda tentang
pendidik.
a.
Zakiah Daradjat, berpendapat bahwa
pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan
tingkah laku peserta didik.
b.
Marimba, beliau mengartikan sebagai
orang yang memikul pertanggungjawaban sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa
yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan peserta
didik.
c.
Ahmad Tasir, mengatakan bahwa
pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik
B.
Kedudukan
Pendidik dalam Pendidikan Islam
Pendidik
adalah bapak rohani (spiritual father) bagi anak didik yang memberikan santapan
jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia dan meluruskannya. Oleh karena itu
pendidik mempunyai kedudukan tinggi sebagai mana yang dilukiskan dalam hadis
Nabi Muhammad SAW, bahwa "tinta seorang ilmuwan (ulama) lebih berharga
ketimbang dari darah syuhada" bahkan Islam menempatkan pendidik setingkat
dengan derajat seorang Rasul.
Guru diakui
sebagai suatu profesi khusus. Dikatakan demikian, karena profesi keguruan bukan
saja memerlukan keahlian tertentu sebagaimana profesi lain, tetapi juga
mengemban misi yang paling berharga, yaitu pendidikan dan peradaban. Atas dasar
itu, dalam kebudayaan bangsa yang beradab guru senantiasa diagungkan dan
disanjung, dan juga dihormati, karena peranannya yang penting bagi eksistensi
bangsa di masa depan.
Secara
normatif kedudukan guru dalam islam sangat mulia. Tidak sedikit yang
menyimpulkan kedudukan guru setingkat dibawah kedudukan nabi dan rasul.
Ungkapan dari
sayyidina Ali, bahwa seorang 'alim (ulama') lebih utama dari orang yang ahli
ibadah puasa dan seorang yang berjihad di jalan Allah, karena jika seorang alim
meninggal maka Islam merasa kehilangan generasinya. Susungguhnya Islam berada
di tangan seorang 'alim.
Dan sebagimana
syai’r yang disya’iri oleh Syauki, dan dikutip oleh Al-Abrasyi, Berkata :
“berdirilah
dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja
merupakan seorang rasul”
Sebagaimana
dalam sya’ir diatas, seorang guru’ yang sempurna (al-ulama al- rasyidin), yaitu
seorang guru telah tercerahkan dan mampu mencerahkan muridnya, bukan
semata-mata sebagai media pencari nafkah.
Kedudukan guru
memanglah terhormat dan mulia apabila yang menduduki jabatan itu adalah orang
yang tehomat dan mulia juga. Sebab kehormatan dan kemulian itu tidak hanya
terkait secara struktural tetapi yang terpenting adalah secara substansial dan
fungsional. Penghargaan islam tertinggi terhadap guru sebenarnya tidak berdiri
sendiri, melainkan terkait dengan penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan.
Jadi guru yang
memiliki kedudukan mulia adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan dan mampu
memberdayakan siswa dengan ilmu yang dimilikinya. Karena itu, seorang menjadi
mulia bukan semata-mata secara structural sebagai guru, melainkan secara
substansial memang mulia dan secara fungsional mampu memerankan fungsi
keguruannya, yaitu mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan anak bangsa.
C.
Tugas Pendidik
dalam Pendidikan Islam
Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang
diembannya. Tugas yang diemban seorang pendidik hampir sama dengan tugas
seorang Rasul.
1.
Tugas secara umum, adalah :
Sebagai “warasat al-anbiya”, yang pada
hakikatnya mengemban misi rahmatal li al-alamin, yakni suatu misi yang
mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh
keselamatan dunia akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan
kepribaian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh dan bermoral tinggi.
Selain itu tugas yang utama adalah, menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan hati manusia untuk bertaqarrub kepada
Allah.Sejalan dengan ini Abd
al-Rahman al-Nahlawi menyebutkan tugas pendidik pertama, fungsi penyucian yakni
berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembang fitrah manusia.Kedua,
fungsi pengajaran yakni meng-internalisasikan dan mentransformasikan
pengetahuan dan nilai-nilai agama kepada manusia.
2.
Tugas secara khusus, adalah :
a.
Sebagai pengajar (intruksional)
yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang
telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan.
b.
Sebagai pendidik (edukator) yang
mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan
kamil , seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia.
c.
Sebagai pemimpin (managerial), yang
memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang
terkait. Menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian,
pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.
Ahmad Tafsir membagi tugas-tugas yang dilaksanakan oleh guru
antara lain adalah:
1.
Wajib mengemukakan pembawaan yang
ada pada anak dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan,
angket dan sebagainya.
2.
Berusaha menolong anak didik
mengembangkan pembawaan yang baik dan menekankan pembawaan yang buruk agar
tidak berkembang.
3.
Memperlihatkan kepada anak didik
tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai keahlian, keterampilan,
agar anak didik memilikinya dengan cepat.
4.
Mengadakan evaluasi setiap waktu
untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.
5.
Memberikan bimbingan dan penyuluhan
tatkala anak didik melalui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
D.
Kompetensi-kompetensi
Pendidik dalam Pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam, seorang pendidik itu haruslah
memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih dan mampu mengimplisitkan nilai
relevan (dalam ilmu pengetahuan itu), yakni sebagai penganut Islam yang patut
dicontoh dalam ajaran Islam yang diajarkan dan bersedia mentransfer pengetahuan
Islam serta nilai-nilai pendidikan yang diajarkan. Namun demikian untuk menjadi
pendidik yang professional masih diperlukan persyaratan yang lebih dari itu.
Untuk mewujudkan pendidik yang professional sekaligus yang
berkompeten dalam pendidikan Islam, didasari dari tuntugan Rasulullah SAW
karena beliau satu-satunya pendidik yang paling berhasil dalam rentang waktu
yang singkat, sehingga diharapkan dapat mendekatkan realitas pendidik dengan
yang ideal (Rasulullah SAW). Keberhasilan Rasulullah SAW, sebagai pendidik
didahului oleh bekal kepribadian (personality) yang berkualitas unggul ini
ditandai dengan kepribadian Rasul yang dijuluki Al-Amin yakni orang yang sangat
jujur dan dapat dipercaya, kepedulian Rasulullah terhadap masalah-masalah
sosial religious, serta semangat dan ketajamannya dalam iqro’ bismirobbik.
Kemudian beliau mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman dan amal
saleh, berjuang dan bekerja sama menegakkan kebenaran. Berikut ini adalah
kompetensi pendidik dalam pendidikan Islam:
1.
Kompetensi Personal-Religius
Kemampuan dasar (kompetensi) yang pertama bagi
pendidik adalah menyangkut kepribadian agamis, artinya pada dirinya melekat
nilai-nilai lebih yang akan diinternalisasikan kepada peserta didiknya.
Misalnya, nilai kejujuran, musyawarah, keberhasilan, keindahan, kedisiplinan,
ketertiban dan sebagainya. Nilai tersebut perlu dimiliki pendidik sehingga akan
terjadi transinternalisasi (pemindahan penghayatan nilai-nilai) antara pendidik
dan anak didik baik langsung maupun tidak langsung atau setidak-tidaknya
terjadi transaksi (alih tindakan) antara keduanya.
2.
Komptensi Sosial-Religius
Kemampuan dasar kedua bagi pendidik adalah menyangkut
kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran Islam.
Sikap gotong-royong, tolong-menolong, egalitarian (persamaan derajat antara
sesama manusia), sikap toleransi dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh
pendidik untuk selanjutnya diciptakan dalam suasana pendidikan Islam dalam
rangka transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan anak
didik.
3.
Kompetensi Profesional-Religius
Kemampuan dasar yang ketiga ini menyangkut kemampuan
untuk menjalankan tugasnya secara professional dalam arti mampu membuat
keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkan
berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.
Kompetensi diatas dapat dijabarkan dalam komptensi-kompetensi
sebagai berikut:
a.
Mengetahui hal-hal yang perlu
diajarkan, sehingga ia harus belajar dan mencari informasi tentang materi yang
diajarkan,
b.
Menguasai keseluruhan bahan materi
yang akan disampaikan pada anak didiknya,
c.
Mempunyai kemampuan menganalisa
materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengna konteks komponen-komponen
secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara
berpikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan
melalui proses edukasi,
d.
Mengamalkan terlebih dahulu
informasi yang telah didapat sebelum disajikan kepada anak didiknya (QS.
Al-Baqarah:119)
e.
Mengevaluasi proses dan hasil
pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan (QS. Al-Baqarah: 31)
f.
Member hadiah (tabsyir/reward) dan
hukuman (tanzir/punishment) sesuai dengan usaha dan upaya yang dicapai anak
didik dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar (QS.
Al-Baqarah:119)
g.
Memberikan uswatun hasanah dan
meningkatkan kualitas dan keprofesionalannya yang mengacu pada futuristic tanpa
melupakan peningkatan kesejahteraannya, misalnya gaji, pangkat, kesehatan,
perumahan sehingga pendidik benar-benar berkemampuan tinggi dalam transfer of
heart, transfer of head, dan transfer of hand kepada anak didik dan
lingkungannya.
E.
Kode
Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam
Kode etik pendidik dalam islam yaitu norma-norma yang
mengatur hubungan antara pendidik dengan peserta didik, orang tua peserta
didik, koleganya serta atasannya bahkan masyarakat. Kode etik pendidik dalam
pendidikan islam menurut Al-Muhammad Nawawi al-Jawi al Bantani sebagaimana
dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir adalah sebagai berikut:
1.
Menerima segala problem peserta
didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah,
2.
Bersikap penyantun dan penyayang,
3.
Menjaga kewibawaan dan
kehormatannya dalam bertindak,
4.
Menghindari dan menghilangkan sikap
angkuh terhadap sesama,
5.
Bersikap rendah hati ketika menyatu
dengan sekelompok masyarakat,
6.
Menghilangkan aktivitas yang tidak
berguna dan sia-sia,
7.
Bersifat lemah lembut dalam
menghadapi masalah peserta didik, yang IQ-nya rendah, membinanya sampai pada
taraf maksimal,
8.
Meninggalkan sikap marah dalam
menghadapi problem peserta didiknya,
9.
Memperbaiki sikap peserta didiknya
dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar
berbicaranya,
10.
Meninggalkan sifat yang menakutkan
pada peserta didik yang melum mengerti dan belum tahu,
11.
Menerima kebenaran yang diajukan
oleh peserta didiknya,
12.
Menjadikan kebenaran sebagai acuan
dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik,
13.
Mencegah dan mengontrol peserta
didik mempelajari ilmu yang membahayakan,
14.
Menanamkan sifat ikhlas pada
peserta didik, serta terus menerus mencari informasi guna disampaikan pada
peserta didik yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT,
15.
Mengaktualisasi informasi yang
diajarkan pada peserta didik.
Sedangkan menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi, kode etik
pendidik dalam pendidikan Islam yang dikutip pula oleh Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir adalah sebagai berikut:
1.
Mempunyai watak kebapaan sebelum
menjadi seorang pendidik, sehingga menyayangi peserta didik seperti anaknya
sendiri,
2.
Adanya komunikasi yang aktif antara
pendidik dengan peserta didik,
3.
Memperhatikan kemampuan dan kondisi
peserta didiknya,
4.
Mengetahui kepentingan bersama,
tidak focus pada sebagian peserta didik,
5.
Mempunyai sifat-sifat keadilan,
kesucian dan kesempurnaan,
6.
Ikhlas dalam menjalankan
aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal yang diluar kewajibannya,
7.
Dalam mengajar supaya mengaitkan
materi yang satu dengan materi yang lainnya,
8.
Sehat jasmani dan rohani serta
mempunyai kepribadian yang kuat, mempunyai rencana yang matang untuk menatap
masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
F.
Definisi
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang
mendapat pengajaran ilmu. Secara terminology peserta didik adalah anak didik
atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan
bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari
structural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang
individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari
segi fisik dan mental maupun pikiran.
Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan,
tentu peserta didik tersebut masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan
arahan untuk menuju kesempurnaan. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang
peserta didik berada pada usia balita seorang selalu banyak mendapat bantuan
dari orang tua ataupun saudara yang lebih tua. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa peserta didik merupakan barang mentah (raw material) yang harus diolah
dan bentuk sehingga menjadi suatu produk pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut secara
singkat dapat dikatakan bahwa setiap peserta didik memiliki eksistensi atau
kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga, pesantren
bahkan dalam lingkungan masyarakat. Dalam proses ini peserta didik akan banyak
sekali menerima bantuan yang mungkin tidak disadarinya, sebagai contoh seorang
peserta didik mendapatkan buku pelajaran tertentu yang ia beli dari sebuah toko
buku. Dapat anda bayangkan betapa banyak hal yang telah dilakukan orang lain
dalam proses pembuatan dan pendistribusian buku tersebut, mulai dari
pengetikan, penyetakan, hingga penjualan.
Dengan
diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam konteks kehadiran dan
keindividuannya, maka tugas dari seorang pendidik adalah memberikan bantuan,
arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau
kedewasaannya sesuai dengan kedewasaannya.