By Unknown | At 22.14 | Label :
Tugas Kuliah
| 0 Comments
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Shalat
jenazah adalah shalat yang dilakukan bagi umat muslim kepada muslim lainnya
yang telah meninggal dunia. Hukum melaksanakan shalat jenazah ini adalah fardhu
kifayah. Namun dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan beberapa
perbedaan dalam pelaksanaannya, antara bid’ah dan sunnah serta hal yang masih
diperbincangkan. Maka dari itu penulis mencoba mengangkat beberapa masalah
tersebut dan mengkajinya dalam makalah ini.
2.
Permasalahan
a.
Mengangkat tangan hanya
ketika pada takbir pertama atau pada setiap takbir.
b.
Mengumandangkan adzan ketika
jenazah diletakkan di liang lahat.
c.
Mengucapkan kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ ketika mengiringi
jenazah ke kuburan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Shalat
Jenazah
A.
Pengertian
Shalat Jenazah dan Hukumnya
Shalat
jenazah adalah jenis shalat yang dilakukan pada muslim laki-laki maupun muslim
perempuan yang telah meninggal dunia, yang dishalatkan oleh muslim lainnya yang
masih hidup. Hukum pelaksanaan shalat jenazah ini adalah fardhu kifayah yang
artinya wajib bagi setiap muslim untuk melakukannya, tetapi kewajiban tersebut
gugur apabila telah ada muslim lainnya yang melakukannya.
B.
Syarat
Penyelenggaraan
Adapun
syarat yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan shalat ini adalah:
1)
Yang melakukan shalat ini
harus memenuhi syarat sah shalat secara umum (menutup aurat, suci dari hadas,
menghadap kiblat dst.)
2)
Jenazah/Mayit harus sudah
dimandikan dan dikafani, kecuali fiisabilillah.
3)
Jenazah diletakkan di depan
mereka yang menyalati, kecuali shalat ghaib.
4)
Pembagian shaf dalam shalat
jenazah hendaknya dibariskan menjadi tiga baris. Begitu juga apabila yang menyalati
jumlahnya hanya tiga orang, maka imam berdiri di shaf pertama, makmum pertama
berada di shaf kedua dan makmum ketiga berada di shaf ketiga
5)
Dalam pelaksanaan shalat jenazah posisi imam berbeda-beda sesuai
dengan keadaan jenazah. Perbedaan tersebut adalah:
dengan keadaan jenazah. Perbedaan tersebut adalah:
a.
Apabila jenazah laki-laki maka posisi imam berada tepat di dekat
kepala jenazah.
b.
Apabila perempuan, imam berada di tengah badan jenazah.
Sesuai dengan hadits berikut
“Saya melihat Anas bin Malik menyembahyangkan jenazah laki-laki dia berdiri di
arah kepalanya. Setelah jenazah itu diangkat dan digantikan pula dengan satu
jenazah wanita, dia menyembahyangkannya dan berdiri di tengah-tengahnya. Seorang
sahabat bertanya: “Hai Abu Hamzah, apakah Nabi menyembahyangkan jenazah
laki-laki dan wanita seperti arahmu berdiri tadi?” Anas menjawab “Ya.”” (HR.
Ahmad dan Turmuzi dan Ibn Majah dari Abi Ghalib al-Hannath).
c. Apabila jenazah yang disalati jumlahnya banyak dan terdiri dari
laki-laki dan perempuan, maka posisi imam berada di depan kepala jenazah. Jenazah
laki-laki diletakkan di depan kemudian diikuti oleh jenazah perempuan. Selain
itu juga diperbolehkan untuk menyalati jenazah tersebut satu-persatu secara
bergiliran. Posisi imam shalat jenazah yang berbeda-beda ini juga berlaku bagi
orang yang shalat jenazah sendirian.
C.
Rukun
Shalat Jenazah
Shalat
jenazah itu terdiri dari delapan rukun.
1)
Niat
Shalat
jenazah sebagaimana shalat dan ibadah lainnya tidak dianggap sah kalau tidak
diniatkan. Dan niatnya adalah untuk melakukan ibadah kepada Allah. Hadits
Rasulullah SAW dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
setiap amal itu tergantung niatnya. Setiap orang mendapatkan sesuai niatnya.” (HR.
Muttafaq Alaihi).
2)
Membaca takbir pertama dan
dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah.
3)
Setelah takbir kedua, lalu membaca shalawat :
4)
Setelah takbir yang ketiga, kemudian membaca doa:
عَنْهُ وَاعْفُ فِهِ وَعَا حَمْهُ وَارْ لَهُ اغْفِرْ اَللَّهُمَّ
Atau dilanjutkan dengan membaca
وَأَآْرِ مْ نُزُلَهُ ، وَوَسِّعْ
مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ
الْخَطَايَا آَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ
دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا
مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
وَعَذَابِ النَّارِ
5)
Selesai takbir yang keempat, lalu membaca:
وَاغْفِرلناولَهُ بَعدَهُ تَفتِنَّا وَلَا أَجرَهُ تَحرِمنَا لَا اللَّهُمَّ
Atau membaca :
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنيَا حَسَنَةً ، وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً ،
وَقِنَا عَذَابَ النَّار
6)
Salam
2.
Pembahasan Permasalahan
A.
Mengangkat
tangan hanya ketika pada takbir pertama atau pada setiap takbir.
Diriwayatkan
oleh Tirmidzi dari Abu Hurairoh bahwa “Rasulullah saw mengucapkan takbir di dalam
shalat jenazah dan mengangkat kedua tangannya pada takbir pertama dan meletakan
tangan kanan diatas tangan kirinya.” Lalu Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini
gharib dan kita tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini.
Para
ahli ilmu telah berbeda pendapat di dalam permasalahan ini :
a. Kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi dan
yang lainnya berpendapat untuk mengangkat kedua tangan pada setiap takbir
didalam shalat jenazah, demikian pula pedapat Ibnul Mubarok, Syafi’i, Ahmad dan
Ishaq.
b. Sedangkan sebagian ahli ilmu yang lain berpendapat
untuk tidak mengangkat kedua tangan kecuali hanya pada takbir pertama, ini
adalah pendapat ats Tsauriy dan ahli Kuffah. (Sunan at Tirmidzi juz IV hal 350).
Syeikh
al Albani didalam “Ahkam al Janaiz hal 115 – 116” menyebutkan bahwa dalam hal
disyariatkannya mengangkat kedua tangan pada takbir pertama terdapat dua buah
hadits :
Dari Abu
Hurairoh bahwa “Rasulullah SAW mengucapkan takbir dalam shalat jenazah dan
mengangkat kedua tangannya pada takbir pertama dan meletakan tangan kanan
diatas tangan kirinya.” Diriwayatkan oleh at Tirmidzi (2/165), ad Daruquthni
(192), al Baihaqi (284), Abu asy Syeikh didalam “Thabaqat al Ashbaniyin” (262)
dengan sanad lemah akan tetapi diperkuat oleh hadits kedua dari Abdullah bin
Abbas bahwa “Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya di dalam shalat jenazah
pada takbir pertama dan tidak mengulanginya lagi.” Diriwayatkan oleh ad
Daruquthni dengan sanad yang orang-orangnya bisa dipercaya kecuali al Fadhl bin
as Sakan, dia adalah orang yang tidak dikenal. Ibnu at Turkumai tidak
memberikan pendapat tentangnya didalam “al Jauhar an Naqiy” (4/44). Dengan
demikian permasalahan mengangkat kedua tangan saat takbir didalam shalat
jenazah adalah permasalahan khilafiyah atau yang masih diperselisihkan oleh
para ulama sehingga tidak perlu menjadikan sebagian dari kita menyalahkan
sebagian yang lain.
B.
Mengumandangkan
adzan ketika jenazah diletakkan di liang lahat.
Beradzan khusus untuk jenazah ketika diletakkan diliang lahat
tidak disunnahkan, berbeda dengan orang yang baru dilahirkan. Ibn Hajar
berpendapat : “saya menolak dalam kitab Syarah al’ Ubab. Tetapi ketika jenazah
diturunkan ke dalam kubur bersamaan dengan dikumandangkannya adzan maka jenazah
tersebut di ringankan dari pertanyaan kubur.”
Dari Anas bin Malik ra. Berkata, bahwa Rasulullah bersabda:
“Jika adzan dikumandangkan di sebuah kampung/desa/tempat, maka Allah akan
membebaskan warga desa itu dari azab-Nya pada hari itu.” (Mujam Al Kabir At
Thabrani).
Dari kedua keterangan dalil di atas, maka tidak ada
hubungannya dengan mengadzankan khusus ketika mayit dimasukkan ke liang lahat,
bahkan bukan perbuatan sunnah. Yang dimaksud dengan keterangan adzan di atas
adalah apabila suara adzan yang dikumandangkan di masjid-masjid sekitar
suaranya terdengar sampai ke kuburan, maka mungkin maksudnya diringankanlah si
mayit dari pertanyaan kubur. Sedangkan saat ini sangat jarang sekali orang mengubur
mayit hampir bersamaan dengan masuknya waktu shalat.
C.
Mengucapkan
kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ ketika
mengiringi jenazah ke kuburan.
Ketika memikul jenazah yang biasanya diucapkan dengan suara
yang keras, amalan ini tidaklah terdapat dari Nabi SAW, tidak pula dari para
sahabat. Bahkan para sahabat memikul jenazah dengan penuh ketenangan (Ijabah
al-Sail, hal 600-601).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Shalat
jenazah merupakan salah satu praktik ibadah shalat yang dilakukan umat Muslim
jika ada Muslim lainnya yang meninggal dunia. Hukum melakukan shalat jenazah
ini adalah fardhu kifayah, di lakukan dengan 4 takbir dan bacaan pada
masing-masing takbir adalah Al-Fatihah, Shalawat kepada Nabi SAW, membaca do’a
”Allahummaghfir lahu
warhamhu wa’aafihii wa’fu ‘anhu,” dan doa “Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa taftinnaa
ba’dahu waghfir lanaa wa lahu,” serta di akhiri dengan salam.
Meskipun
dalam pelaksanaannya kita menemukan perbedaan, tidak seharusnya kita saling
menyalahkan dan menyatakan siapa yang benar. Justru sebaliknya kita saling
menghargai satu sama lain, duduk bersama dan mengkaji hal tersebut
bersama-sama.
-----Deni Nurdianto----
I'll try to give the best